Jogjakarta, adalah kota yang saya kagumi. Setiap pulang dari sana saya ingin kembali. Sudah lama tidak saya sambangi, apakah Jogja masih seperti yang ada di memori?
Jogja belakangan makin terkenal karena jejaring sosial Path. Terkenal karena makian oleh pengguna jejaring tersebut.
Florence atau entah nama lengkapnya siapa, saya malas browsing menghabiskan energi untuk melihat berbagai cercaan terhadap pengkritik Jogja ini.
Awal informasi tentang Flo ini saya dapat dari chat whatsapp teman-teman koboys dan OBI. Tentu ada pro dan kontra.
Beberapa kawan tidak menyalahkan diajeng Flo meski tidak berarti pro atau menyetujui makiannya di media sosial Path.
Berikut salah satu pendapat
rekan blogger yang blognya terbengkalai sampai lumutan dan tertutup sawang :D
Bro sis sekalian yang berbahagia, ijinkan hamba menyampaikan uneg-uneg tentang fenomena flo sihombing yang mendamprat di sosmed path. bagaimana media sosial cepat menyebar layaknya pertamax ron92. dengan sangat cepat seantero negri mengetahui omelan si flo tersebut. bahkan dengan sigap pula sebuah lsm melaporkan flo ke polda terkait pelanggaran pasal 27 ayat 3 uu it. menurut boros saya yang tidak hemat, tuduhan pelanggaran uu it sangatlah tidak tepat diarahkan ke mbak yu flo bukan anggota tofu. karena mbak yu flo ngomel di jejaring path yang mana path tersebut itu adalah controlled social. jadi yang patut dikenakan pasal 27 ayat 3 uu it ialah yang meng-capture dan menyebarkan status mbakyu flo. sanksi sosial sebenarnya sudah cukup bagi florence sihombing, tak usahlah sampai ke ranah hukum. emang masyarakat kita pada latah dan lebay, dulu menentang uu it, sekarang uu it digunakan buat cewek yang sebenarnya cuman sebel gak mau ngantri lantas ngedumel di socmed.
Fungsi sosial medi memang sebagai kritik, meski budaya timur tentu memiliki aturan tidak tertulis Aturan tata krama, sopan santun, yang bisa berakibat fatal jika dilanggar.
Jadi wajar jika kritikan berupa makian seperti yang diungkapkan Mba Flo di jejaring Path menuai protes.
Tapi siapakah Flo dan siapa kita? Sama. Yaitu warga Indonesia. Indonesia yang mulai kehilangan warna aselinya. Memudar dilanda gelombang zaman.
Mudahnya kita mengungkapkan kekecewaan di jejaring sosial tanpa beban. Setiap hari kita bisa membaca curahan kekalutan jiwa di facebook. Mengeluh di twitter, path, blog dan jejaring sosial lainnya.
Ungkapan Flo hanyalah satu dari sekian ribu pengguna jejaring sosial. Yang lain mungkin tidak terekspos karena tidak melibatkan wilayah yang di istimewakan.
Dan makian Flo tentang antri bbm sepertinya hanya pemicu dari kekecewaan terhadap Jogjakarta yang mulai kehilangan keistimewaannya.
Kota pelajar, itu dulu sekali. Setahu saya, dulu benar-benar diberlakukan jam malam bagi warga umur pelajar. Jam belajar dilarang keluyuran.
Dari rekan koboys yang identik Jogja juga mengiyakan kelakuan anak-anak Jogja masa kini. Alay kata Flo. Kata kawan saya, anak masa kini penghormatan kepada yang lebih tua mulai pudar. Bahasa Jawa halus tidak paham. Penggunaan unggah-ungguh bahasa yang dijunjung tinggi khas kerajaan melemah. Mereka lebih suka pakai bahasa gaul terkini.
“Yakalik”
“ga juga keles”
Dan ungkapan trendi lain ala remaja metropolis. Tapi saya tetap kangen dengan Jogjakarta. Semoga kembali seperti dulu.
Apakah pembaca pernah curhat di jejaring sosial?(tri)
**************
Posted from WordPress for Android Wonder Roti Jahe
